Bagaimana Cara Mereka Menghadapi Kegagalannya?
![]() |
Bagaimana Cara Mereka Menghadapi Kegagalannya |
Karena pengaruh stres, mereka sering
bersikap bermusuhan. Tadinya saya senang menerima tantangan semacam ini. Saya ingin
membuktikan kepada IBM bahwa saya memang mampu menggarap lingkungan yang sukar
ini.
Sesuai dengan giliran, pada
hari pertama saya mulai memasuki beberapa kantor dan memberikan presentasi
saya. Walaupun sering ditolak, saya terus mencari calon pelanggan lain yang
lebih potensial. Pada kunjungan saya yang kelima, saya menghadapi lebih banyak
penolakan. Ini sungguh di luar dugaan saya!
Resepsionisnya kala itu
adalah seorang wanita muda, barangkali baru saja lulus SMA. Dia nampak ramah
dan menyenangkan. Dengan penuh antusias saya memperkenalkan diri: “Nama saya
Art Mortell, dari IBM. Kami memilki produk baru yang fantastis, yang dapat
mempercepat operasi perusahaan Anda. Jika saya dapat menunjukkan kepada bos Anda
cara meningkatkan produksi kantor ini menjadi 50 persen lebih tinggi, apa dia
bisa menyisihkan lima belas menit dari waktunya untuk saya?
Dia tersenyum sinis dan berkata, “Cepat angkat kaki dari sini.” Saya berdiri terpaku di sana, diam seribu bahasa. Lalu dia menunjuk ke arah pintu keluar. Tanpa banyak bicara saya segera meninggalkannya. Kemudian saya meneleponnya berulang-ulang, tapi saya selalu memperoleh jawaban yang tidak menyenangkan.
Definisi saya mengenai kata resepsionis segera berubah. Selain itu, saya juga
kehilangan rasa percaya diri. Apa yang saya lakukan ini salah?
Saya sadar bahwa problem
saya sebenarnya berasal dari pikiran saya sendiri. Saya selalu berkata pada
diri saya, “Saya ingin agar orang lain suka sama saya, mengundang saya ke
kantornya, bersikap ramah terhadap saya dan membli mesin yang saya tawarkan.” Tapi
ini bukanlah pengalaman saya yang sebenarnya. Kenyataan sangat berbeda dengan
harapan saya. Saya kembali menjadi kecewa dan frustasi.
Cara Menghadapi Kegagalan
Frustasi diukur oleh jarak antara harapan dan kenyataan
Sejak kejadian itu,
setiap hari saya hanya berada di kantor saja. Tadinya memang ada niat saya
untuk berkirim surat, sambil berharap dapat memperoleh jawaban yang positif. Selain
itu, saya juga berencana akan menelepon langganan lama dan memberi tahu mereka
bahwa saya adalah penjual yang baru dan meminta mereka untuk menelepon balik
bila mereka memerlukan saya. Tapi saya tidak pernah betul-betul menelepon
mereka atau membuat jadwal kunjungan.
Saya tahu bahwa jika saya
terus bersikap defensif seperti ini, maka manajer saya akan segera mengnetahui
betapa tidak efektifknya diri saya dan mungkin akan memecat saya. Saya berkata
pada diri sendiri, “Saya sudah bekerja keras selama ini. Kenapa saya mesti? Saya
harus bisa menemukan jalan keluarnya. Kini, apa sebenarnya masalah saya?”
Saya menyimpulkan bahwa masalah saya sesungguhnya berasal dari ego saya. Saya menyadari bahwa diri saya bukanya tidak sensitif, melainkan terlalu peka. Sekarang bagaimana jalan keluarnya? Solusinya adalah singkirkan masalahnya. Karena masalahnya ialah kurang kedewasaan, saya berpendapat, jalan keluarnya juga akan nampak seperti kekanak-kanakan.
Saya membayangkan daerah pemasaran yang diberikan IBM kepada
saya seperti bayangan sebuah kamar yang penuh oleh calon pelanggan saya yang
kini menjadi objek imajiner. Setiap objek diberi label “ya” atau “tidak”. Tugas
saya hanya menyeleksi setiap objek, melihat labelnya dan memisahkan mana yang
berlabel “ya” dan mana yang “tidak”.
Dengan menerapkan filosofi ini terhadap calon pelanggan saya yang sebenarnya, saya menemukan bahwa dari setiap 43 label negatif terhadap hanya satu label positif. Skenario imajiner ini membebaskan pikiran saya dari umpan balik negatif dan memusatkan pikiran saya pada mereka yang mau menerima diri saya.
Dalam waktu sepuluh bulan sebelum saya
dimutasikan ke California, saya berhasil membuka tujuh puluh rekening baru. Tapi
saya baru mengalami sukses seperti ini setelah saya belajar bagaimana mengatasi
kegagalan.
Bagaimana Cara Mereka Menghadapi Kegagalannya?
Jika harapan terhadap
diri sendiri tidak realistik, kita harus bisa mengubahnya. Kapan saja kita
frustasi, kita perlu bertanya pada diri sendiri dua pertanyaan berikut :
Apakah kenyataan itu?
Apa sebenarnya harapan
saya?
Waktu kita masih anak-anak dan ditanya orang, kebanyakan mencoba menjawab semua pertanyaan dengan benar. Tapi dalam dunia bisnis, kita menjumpai kenyataan yang jauh berbeda antara kegagalan dan sukses. Bila persentase sukses berubah, maka harapan kita juga perlu berubah. Kita sering kali harus menemui kegagalan sebelum kita memperoleh sukses.
Ketimbang mengurangi harapan kita, kita perlu tetap berpegang teguh pada tujuan kita, sementara kita menyesuaikan diri dengan apa yang kita harapkan. Dengan tidak lagi berharap untuk selalu diterima orang, kita akan dapat lebih mudah bergaul dengan orang yang sulit.
Perhatikan asal usul
harapan kita terhadap diri sendiri. Beberapa di antara kita mungkin pernah
diberitahu sewaktu masih kecil bahwa mencari sukses finansial akan sangat
menegangkan. Jika kita percaya pada pikiran seperti itu, kita mungkin akan
memutuskan untuk tidak terlalu berharap pada diri sendiri dan mencari posisi
yang kurang menantang.
Kita kebanyakan mungkin
berambisi untuk hidup sukskes. Barangkali ada orang yang mengatakan, “Saya
berharap kamu tetap bertekun sampai kamu sukses dan mandiri secara fianasial.” Makin
tinggi cita-cita kita, makin banyak kesulitan yang perlu kita atasi sebelum
kita meraih sukses.
Selain dari apa yang kita harapkan dari diri sendiri, kita juga perlu menjabarkan harapan yang kita inginkan dari lingkungan sekitar kita. Beberapa dari kita sudah dikondisikan untuk percaya bahwa pada umumnya orang akan mengasihi diri kita. Dalam kasus saya, misalnya, ibu saya sangat mengasihi diri saya, tanpa mempedulikan baik buruknya kelakuan saya.
Kasihnya yang tulus telah membuat jiwa saya tentram. Tapi
sayang, situasi di sekolah telah membuat diri saya merasa tidak tenang. Guru saya
tidak secara otomatis sayang kepada saya. Agar diperhatikan mereka, saya harus
memperlihatkan tingkah laku yang baik dan sopan.
Sering kali umpan balik negatif berupa kejutan emosional. Apa yang akan terjadi bila kita mempunyai tujuan ambisius, tapi secara emosional kita tidak siap menghadapi keadaan yang sulit dan umpan balik negatif?
Jika prakarsa kita yang terdahulu terhadap
lingkungan di sekitar kita sangat kontras dengan kenyataan yang ada, maka kita
akan menjadi frustasi. Semakin besar perbedaan antara kenyataan dan harapan
kita, semakin besar kekecewaan kita.
Kini kita mempunyai dua
pilihan :
Mengurangi harapan kita
dengan memutuskan untuk tidak akan pernah mencoba berusaha lagi dan menghindar
dari tantangan yang membingungkan kita
Atau
Menyesuaikan harapan kita
dengan kenyataan yang kita hadapi, sehingga tantangan tidak lagi membelenggu
diri kita, tapi memperkuat citra diri kita.
Kita perlu mengnubah harapan
kita terhadap kenyataan. Konsep kuno tentang kegagalan sudah tidak berlaku lagi
sekarang. Daripada menghindari kegagalan, lebih baik kita menghargai kearifan
yang ditawarkannya kepada kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar