Pentingnya Memiliki Harapan
![]() |
Pentingnya memiliki harapan |
Saya kembali menemui bos saya dan memberi tahu dia bahwa saya sekarang sudah siap bekerja penuh. Kemudian ia menugaskan saya ke wilayah Wall Street. Dalam sembilan hari pertama saya berhasil membuka 10 rekening baru. Saat itu saya sudah belajar bahwa harapan sesungguhnya terbagi dalam dua bagian: yang pertama ialah harapan terhadap diri sendiri dan yang kedua adalah harapan terhadap kenyataan.
Pikirkanlah tentang
harapan yang kita inginkan. Makin besar harpaan kita terhadap diri sendiri,
makin kuat tekad kita untuk meraih sukses. Bagi merek yang ingin memperoleh sesuatu
yang bermakna, terkenal dan mandiri secara finanasial, harapan dapat memotivasi
diri kita untuk makin tekun berusaha hingga keinginan kita bisa terpenuhi.
“Makin besar harapan kita, makin kuad tekad kita untuk berhasil”
Kemudian perhatikan
harapan kita terhadap orang lain. Barangkali kita sudah terbiasa diperhatikan
orang dan diperlakukan dengan baik. Bagaimana perasaan kita bila pada kenyataannya
hal tersebut tidak sesuai dengan harapan kita dan kita selalu menemui kegagalan
sebelum meraih sukses?
Jika kita terus berputus
asa, kita mungkin beranggapan kita terlalu banyak berhadap dari diri kita
sendiri dan dengan penuh kekecewaan kit aakan mengurangi harapan kita. Tapi hal
ini selain akan menyingkirkan kekecewaan kita di masa mendatang, juga akan
memperlemah harga diri kita. Barangkali kita bisa mengenyahkan rasa putus asa
yang timbul akibat kegagalan dan penolakan, namun ini akan mengorbankan rasa
bangga kita terhadap prestasi, penghargaan orang dan kemandirian finansial.
Sementara sukses saya dengan Old Town berlangsung terus, keyakinan diri saya juga makin berkembang. Kini saya sudah siap melamar IBM lagi. Saya tahu, orang-orang IBM kebanyakan pintar-pintar dan berpendidikan tinggi. Sebab itu saya yakin, dalam wawancara nanti saya akan dapat menjawab dengan baik dan bersungguh-sungguh.
Manajernya waktu itu ialah orang yang emosional. Saya tetap tenang dan santai, sementara saya menceritakan tentang sukses saya di Old Town. Namun manajer itu mempersilahkan saya keluar ruangan, sambil berkata, “Anda kurang memiliki emosi dan kegembiraan.”
Selama periode tahun 1961
sampai 1962, saya mengikuti program pasca sarjana bidang manajemen pemasaran di
City University of New York. Saya belajar dengan tekun dan penuh semangat. Setelah
menyelesaikan program itu, saya merasa tidak sabar untuk mencoba melamar IBM
lagi. Kali ini saya akan membuat manajer itu terkesan dengan sikap antusias
saya. Saya bertekad akan memperlihatkan kemampuan saya.
Manajernya kali ini adalah seorang pria gemuk. Dia duduk di kursinya sambil mengisap cerutu, sedangkan saya duduk serasa membungkuk ke depan dan dengan gembira mengatakan kepadanya bahwa saya sangat menyukai produk IBM dan mengutarakan berbagai alasan saya bisa menjadi penjual kenamaan bagi IBM.
Setelah saya selesai berbicara, dia
berkata dengan suara bergumam, “Anak muda, alasannya kenapa Anda tidak memenuhi
syarat untuk menjual produk IBM adalah karena Anda terlalu emosional.”
Saya kini menjadi bingung. Tanpa menghiraukan apakah saya terlalu antusias atau serius, saya tetap saja ditolak. Lambat laun saya menyadari bahwa tidak semua orang itu sama. Saya lalu mengecam diri saya, karena setelah hidup dua puluh tiga tahun lamanya baru sekarang saya belajar hal yang cuma sepele itu.
Lain waktu saya
menyesuaikan diri dengan kepribadian manajer itu. Dalam enam bulan berikutnya
saya baru berani mencoba lagi.
Pada bulan Juni 1963 saya mencoba melamar untuk yang keempat kalinya. Manajer IBM waktu itu adalah seorang pria yang ramah dan menyenangkan, bernama Hank Schick. Saya merasa bahwa bagian sifat saya yang agresif dan serius tidak akan sesuai dengan kondisi waktu itu.
Sebab itu saya beralih pada segi kepribadian saya yang lebih
bersahabat dan ekspresif. Kali ini saya berhasil menjalin hubungan yang akrab
dengannya dan akhirnya saya diterima bekerja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar